PANCANITI SELALU MENARIK HATI

Ngajar dan nge-trip adalah dua hal yang menyenangkan. Apalagi ngajar sambil nge-trip, menyenangkan sekaligus memberi manfaat. Dengan ngajar bisa sharing ilmu dan pengalaman sembari nge-trip jadi tahu tempat eksotik yang sebelumnya nggak pernah tahu.


Akhir Juli lalu, diadakan kembali Open Trip Pancaniti. Kala itu merupakan Open Trip Pancaniti yang ke-3. Orang-orang baru, tempat baru dan pengalaman baru. Menuju ke Pancaniti dengan truk yang dikendarai seorang sopir yang masih saudara dengan Abi. Abi, begitulah sapaan akrabnya, adalah salah satu tokoh masyarakat paling berpengaruh di Pancaniti tepatnya di kampung Mulyasari. Berkat beliau, anak-anak di kampung Mulyasari pandai mengaji. Selain pandai mengaji, anak-anak kampung Mulyasari rajin membantu orang tua berkebun. Pagi sehabis ngaji dan sore hari. Ya, karena memang mereka tidak bersekolah. Padahal jelas terlihat raut muka semangat dari mereka ketika beberapa relawan pengajar muda datang untuk berbagi ilmu kepada mereka walaupun dengan fasilitas seadanya. Mungkin karena mereka belum pernah menempuh pendidikan formal sehingga mereka belum sampai di titik bosan. Mungkin karena mereka belum kena efek gadget. Berbeda sekali dengan anak-anak seumuran mereka yang tinggal di tempat yang lebih “terjangkau”. Miris.


Tak hanya anak-anak yang pandai mengaji dan rajin membantu orang tua, kampung mulyasari juga diberkahi dengan hasil alam yang melimpah. Salah satunya adalah kopi. Tak jauh dari rumah warga, terdapat air terjun yang belum terjamah orang banyak. Untuk menuju ke air terjun tersebut, cukup dengan jalan kaki bersama anak-anak warga Mulyasari dengan waktu tempuh lebih kurang 15 menit. Setidaknya terdapat 57 kepala keluarga. Mayoritas bermata pencaharian dengan berkebun. Di depan rumah mereka sering kali terlihat biji kopi yang terjemur rapi diatas terpal. Pasokan listrik yang didapat hanya mengandalkan dari kincir air yang dibuat oleh warga sendiri.

Belajar di madrasah (re:bangunan sebagai tempat belajar) beralaskan tikar, penerangan seadanya, tidak memakai meja dan kursi layaknya sekolah lain, serta belum ada pengajar tetap. Satu papan tulis hitam untuk sekitar 50 murid masih terlihat angkuh seakan dirinya selalu dibutuhkan sampai kapanpun (re : sampai ada papan tulis baru). Ijazah pun masih sulit diperoleh, tentu saja karena madrasah tersebut bukan lembaga formal. Abi sempat menceritakan bahwa bangunan yang kini disebut sebagai madrasah itu merupakan hasil dari janji yang ditagih dari partai kepentingan yang sempat singgah (re:kampanye) ke kampung Mulyasari. Sudah terbayangkan bagaimana usaha mereka demi menambah ilmu di setiap harinya.

Tak melulu soal ketertinggalan. Tak melulu soal kesedihan. Yang terpenting adalah usaha dalam meraih kemajuan. Kapanpun kembali kesana. Bagaimanapun keadannya. Apapun yang akan diberikan. Pancaniti selalu menarik hati (kami).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNALIS TERBAIK BULAN SEPTEMBER

CARI KERJA #2